BUKIT SAMA DIDAKI, LURAH SAMA DITURUNI
Hubungan yang
sangat akrab dan tidak dapat dipisahkan. Ya, judul tulisanku ini merupakan
sebuah peribahasa dan artinya baru saja kalian baca di kalimat pertama. Aku dan
keluargaku memang sangat dekat, pastinya karena kami sudah mengenal satu sama
lain sejak sangat lama, lebih tepatnya semenjak orangtuaku mengucap janji suci
di depan altar, disusul dengan kelahiran kakakku dan aku. Kami hanya ber-4 di
keluarga kecil ini. Dua orang anak yang dimiliki orangtuaku hanyalah aku dan
kakakku, dimana aku menjadi yang bontot.
Kami memanggil orangtua kami dengan panggilan
bapak dan ibu, aku memanggil kakakku dengan panggilan mas, dan ia memanggilku
dengan panggilan adek. Aku pernah mencoba memanggil bapak dan ibu dengan
panggilan mama dan papa. Bukannya melebih-lebihkan, tetapi bibirku terasa
sangat aneh memanggil mereka seperti itu.
Aku akan
memperkenalkan bapak terlebih dahulu. Bapak lahir di Klaten pada tanggal 10
April 1967 dengan nama panjang Yustinus Budiatmaka. Bapak adalah anak ke-4 dari
7 bersaudara. Keluarganya sangat unik karena mereka ber-7 memiliki nama yang
sama, yaitu Budi. Beliau banyak bercerita tentang masa kanak-kanaknya. Dulu,
beliau dikenal sebagai anak yang suka berbohong sehingga tak ada yang
mempercayainya. Suatu kali, beliau jatuh sakit demam dan kejang-kejang. Akhirnya
tidak ada yang mau menolong karena semua orang mengira beliau hanya bercanda.
Tenang saja, pada akhirnya ada yang mau menolongnya walaupun beliau sudah agak
kritis.
Bapak adalah
orang yang ramah dan gemar melucu walaupun tidak lucu (maaf ya, Pak). Sejauh
yang aku kenal, bapak tidak punya urat malu karena hobinya mempermalukan aku di
depan umum. Suatu kali beliau memperlihatkan sebuah videoku bernyanyi kepada
seorang pelayan di suatu restoran. Aku tidak bisa apa-apa lalu aku menangis
karena jengkel. Bapak juga orang yang sangat gigih dan tekun. Beliau adalah
sosok pekerja keras. Setiap hari bapak baru pulang dari kantor jam 11 malam ke
atas. Bapak juga lah yang setiap hari menyemangatiku agar aku tidak putus asa
dalam meraih cita-cita dan tujuan hidupku.
Karena ada aku
dan kakakku, tentu bapak memiliki seorang istri. Istrinya adalah ibuku sendiri,
pastinya. Ibu lahir di Solo pada tanggal 13 Maret 1968 dengan nama lengkap
Elisabeth Lusinta. Ibu adalah anak ke-5 dari 5 bersaudara, sama sepertiku, anak
bontot. Keluarga ibuku ini juga unik
karena huruf pertama nama panjang mereka ber-5 sengaja diurutkan dari yang
paling tua ke yang paling muda, yaitu A B C D dan E. Menurutku, ibu adalah
sosok yang agak pendiam, dan beliau akan marah jika aku memanggilnya pendiam.
Mirip seperti bapak, ibu selalu berusaha untuk melucu. Maaf ya ibu, tetapi ibu
adalah orang yang senewen, dikit-dikit
marah. Tapi tenang saja bu, ibu sudah menurunkan sifat itu kepada aku.
Dibalik
kesenewan ibu, ibu adalah orang yang lemah lembut dan perhatian. Beliau selalu
ingin membantu orang-orang di sekelilingnya. Beliau sangat benci harus melihat
teman-temannya menderita. Bahkan ibu selalu stress jika bapak, aku dan kakakku menghadapi
suatu masalah. Beberapa temanku berkata padaku kalau muka ibu galak, tetapi aku
selalu bilang bahwa beliau tidak segalak yang mereka kira.
Kini sampailah
ke kakakku satu-satunya. Kakakku lahir tepat 1 tahun 2 bulan sebelum aku, yaitu
di Sheffield pada tanggal 28 Maret 1999 dengan nama panjang Denis Dhirabrata
Budiatmaka. Kami besar bersama sejak 17 tahun yang lalu, sehingga tidak heran
jika aku dan kakakku sangat dekat. Dulu, layaknya semua kakak-beradik, tiada hari
tanpa bertengkar. Mulai dari fisik sampai verbal. Tetapi itu dulu, sekarang
sudah tidak pernah. Mungkin karena kami sama-sama bertambah dewasa, saling mau
mengalah dan mengerti satu sama lain.
Kakakku adalah
orang yang baik hati, berbeda dari laki-laki lain yang kukenal, menurutku (mas
Denis, tolong jangan kegeeran). Kakakku sering mau membantuku dengan segalanya,
walaupun sering juga tidak mau. Pernah sekali atau 2 kali ia menawarkan diri
untuk mengerjakan tugas-tugasku. Kamarku dengan kamarnya pun sangat dekat,
yaitu berseberangan. Sudah menjadi rutinitasku untuk mengusiknya di kamarnya
hanya untuk sekedar ngobrol-ngobrol atau bergosip. Aku merasa sangat nyambung
dengan kakakku, mungkin karena jarak umur yang sangat dekat. Tetapi, karena tuntutan
pendidikan, ia sekarang ngekos di
Depok karena berkuliah di UI. Rumah jadi terasa sepi dan aku merasa seperti
anak tunggal.
Ah, ternyata sudah panjang ya
tulisanku ini. Sampai bertemu di lain waktu!
Komentar
Posting Komentar