Demi Sebuah Perguruan Tinggi Negeri

Bangun tidur mepet pukul 05.30, mandi, pakai seragam, berangkat ke sekolah, sampai di sekolah, belajar, pelajaran tambahan, les, dan sampai di rumah pukul 20.15 malam. Pergi gelap, pulang pun gelap. Kalau ibuku menggodaku seperti ini, “kayak orang kantoran aja.” Ada benarnya juga, sebab aku berangkat lebih dulu daripada ibuku dan pulang lebih malam pula darinya. Itulah rutinitasku sebagai siswa kelas XII. Dulu, jika aku bayangkan rutinitas seperti ini, aku merasa sangat keberatan, takut tak punya waktu untuk mengerjakan PR dan mempersiapkan ulangan. Kelas XII pun datang juga, dan rutinitas seperti itu benar-benar kulakukan, sebenarnya hanya pada hari Senin, Rabu dan Jumat.
Sebelum memasuki jenjang SMA, banyak sekali kegiatan luar sekolah yang aku tekuni, seperti les menyanyi, les drum, les piano, les kumon, les Bahasa Inggris, les pelajaran sekolah dan lainnya. Tetapi untuk sekarang ini aku rasa waktunya untuk fokus, sehingga aku keluar dari semua les tersebut. Di kelas XII ini aku sudah tidak bisa main-main lagi. Kurang dari setahun lagi, aku sudah menjadi seorang mahasiswi. Karenanya, aku mulai meninggalkan kebiasaan-kebiasaan burukku dan mulai berubah ke arah yang lebih baik, contohnya seperti menunda-nunda dan malas.
Lalu apa kegiatan luar sekolahku? Tadi aku sempat menyebutkan bahwa aku les dan pulang pukul 20.15. Itu satu-satunya kegiatan luar sekolah yang aku lakukan, yaitu les Inten. Kalau kamu tidak tahu apa itu Inten, sebut saja BTA (sebenarnya Inten ≠ BTA). Inten itu sebuah bimbingan belajar untuk anak-anak yang ingin melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Negeri. Di Inten, aku belajar lagi seperti halnya di sekolah. Ada 2 sesi di setiap pertemuan, yaitu sesi 1 pada pukul 16.30 – 18.00 dan sesi 2 pada pukul 18.30 – 20.00. Beberapa menit sebelum setiap sesi berakhir, kita mengerjakan kuis sesuai dengan pelajarannya. Kelasku di ITA 989. Kebetulan aku sekelas dengan Egi. Dalam kelasku itu, mayoritas anak-anaknya bersekolah di Labschool Rawamangun dan SMAN 21, namun ada pula yang bersekolah di SMAN 68, SMAN 77 dan SMAN 13.
Teman-teman, perkenalkan temanku satu ini yang bernama Ditya. Dia bersekolah di SMAN 13.
C:\Users\Odilia Sefi\Downloads\IMG_20170908_181937_resized_20170912_110440285 (1).jpg
Awalnya, aku takut sekali untuk Inten. Aku tahu mayoritas muridnya bersekolah di sekolah negeri. Beberapa bulan ini, stereotipe tentang anak-anak negeri adalah anak-anak yang gaul dan kekinian. Mereka sangat mementingkan penampilan kemana pun mereka pergi, sedangkan aku hanya tampil seadanya, yang penting aku ada. Asumsi ku pada saat itu adalah mereka tidak akan menerimaku karena aku bukanlah orang gaul yang berparas cantik. Aku pun bersyukur kepada Tuhan karena asumsiku itu salah. Justru karena aku berpenampilan acak-acakan dan terlihat masa bodoh dengan penampilanku itulah mereka jadi senang berteman denganku, katanya aku berbeda dari yang lainnya. Berkat mereka, aku jadi semangat untuk les Inten setiap pulang sekolah, walaupun waktuku jadi berkurang sangat banyak.
Karena aku memilih program IPA, aku mempelajari biologi, matematika, kimia, fisika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Setiap sebulan sekali diadakan try out. Hasil try out tersebut dipajang di papan pengumuman berupa nilai beserta rankingnya. Setelah itu, aku masih harus mengerjakan try out tersebut di rumah tanpa bertanya kepada teman. Setelah itu, aku harus menggunting semua soalnya satu per satu lalu menempelnya pada buku, mengerjakan semuanya ulang lalu konsultasi kepada guru yang mengajar mata pelajarannya. Kegiatan itu dinamakan progress.
Ikut bimbel sangat melelahkan jika aku boleh jujur. Tetapi aku tidak pernah menyesali sedetik pun keberadaanku di Inten. Aku percaya pada akhirnya, semua keringat dan jerih payahku akan terbayar.
Semangat meraih cita-cita, teman-teman!

Komentar

Postingan Populer