Aku dan Ketidaktahuanku

Sejak kecil, aku sudah terbiasa untuk hidup sendiri. Selama 13 tahun lamanya sejak aku berumur 7 tahun, aku tidak punya uang dan rumah. Ya, aku berpindah-pindah dari aspal satu ke aspal lainnya. Panasnya terik matahari membakar kulitku dan dinginnya malam menusuk tulangku. Keseharianku adalah mengais-ngais tumpukan sampah, berharap agar menemukan sesuatu yang dapat kujual.
Delapan belas tahun yang lalu, ibu yang merawatku, Mariam, meninggal dunia. Kami hanya punya satu sama lain. Aku sangat terpukul atas kejadian itu. Bahkan, aku sempat tidak bisa memaafkan diriku sendiri karena aku tidak bisa merawatnya dengan baik. Sekarang, aku telah kehilangan dia. Dia telah meninggalkanku selama-lamanya, membuatku jadi sebatang kara.
Sebenarnya, dia bukan ibu kandungku. Dia adalah sahabat ibu kandungku. Ibu kandungku menitipkanku kepada Ibu Mariam karena pada saat itu, kondisi ekonomi ibu kandungku sedang sangat buruk. Aku tidak tahu siapa ibu kandungku, tetapi aku sangat membencinya. Sampai sekarang, aku masih tidak bisa memaafkannya atas perbuatannya itu. Tak pernah sedetikpun aku berpikir untuk mencari dia.
Perkenalkan, namaku Leo. Aku berumur 25 tahun. Aku tinggal di sebuah kontrakan kecil di pinggiran kota. Sangat minimalis, tetapi jauh lebih nyaman dibandingkan tidur di atas aspal. Sejak aku bayi sampai berumur 7 tahun, aku dirawat dan dibesarkan oleh Ibu Mariam. Aku sangat menyayanginya seperti seorang anak menyayangi ibu kandungnya. Dia orang yang sabar dan penyayang. Dia menganggapku seperti anak kandungnya sendiri. Setiap hari, dia selalu bercerita tentang ibu kandungku. Katanya, wajahku benar-benar persis seperti wajahnya, bak pinang dibelah dua. Sebenarnya, aku penasaran ingin menemuinya, aku ingin tahu apakah benar bahwa aku mirip dengannya. Aku ingin tahu rasanya punya ibu kandung, tetapi rasa benci dan amarahku ini berhasil menghentikanku dari mencarinya.
Satu pertanyaan yang selalu muncul di benakku, “siapa nama ibu kandungku?” Aku adalah orang yang bergengsi besar, sehingga aku tidak pernah menanyakan hal itu kepada Ibu Mariam. Hingga suatu hari, aku memberanikan diriku untuk bertanya. Dia agak kaget – dia tahu bahwa aku amat membencinya. Ibu Mariam tidak mau memberitahukanku namanya, tetapi dia memberitahukanku nama ayahku – Bruce White. Katanya, ayahku sudah lama meninggal karena kecelakaan mobil.
Aku bisa tinggal di kontrakan karena aku sudah berpenghasilan, walaupun tidak seberapa. Aku bekerja di sebuah supermarket yang sangat besar yaitu Walmart, agak jauh dari tempat tinggalku. Di tempat kerjaku itu, aku bertemu dengan banyak orang. Aku bukan orang yang mudah dekat dengan orang lain. Aku adalah orang yang tertutup. Aku tidak mudah percaya kepada orang lain, sehingga sebagian besar kisah hidupku kusimpan sendiri. Tetapi di tempat kerjaku ini, aku punya seorang sahabat. Dia adalah manajerku sendiri. Namanya adalah Helen. Umur kami terpaut agak jauh, tetapi hal tersebut tidak menghentikan kami dari bersahabat.
Aku sangat menyayangi sahabatku ini. Dialah satu-satunya yang aku punya di dunia ini. Dia lebih tua dariku 19 tahun. Aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Aku bisa membicarakan apa saja dengannya, begitu pula sebaliknya. Namun, ada 1 hal yang selalu kucoba untuk sembunyikan darinya, yaitu tentang ibu kandungku. Sesungguhnya, bukan karena apa-apa, tetapi aku selalu emosi jika mengingat-ingat hal itu. Hingga pada suatu hari, aku merasa sangat gundah. Entah mengapa, aku sangat ingin menceritakan tentang ibu kandungku kepada Helen.
Aku ceritakan segalanya kepadanya. Tak terasa mataku menitikkan air mata. Aku memeluknya, lalu bersandar di pundaknya. Ternyata, dia juga sedang menghadapi suatu masalah yang sama besarnya dengan masalahku. Dia bercerita bahwa dia pernah menitipkan bayinya kepada sahabatnya karena saat itu dia tidak punya uang. Aku, yang saat itu sedang sangat terpuruk, tidak memiliki firasat apa-apa mengenai Helen. Langsung saja aku melanjutkan ceritaku. “Satu-satunya yang aku tahu adalah nama ayahku, Bruce White.” Kalimat itu berhasil membuat Helen terbangun dan syok. Dia terdiam mematung. Tak lama kemudian, dia histeris, berteriak lalu menangis. Dia memelukku sangat erat sampai aku tak bisa bernapas.

“Maafkan ibu, nak.”


by Odilia Sefi A.

Komentar

Postingan Populer